Selasa, 16 Oktober 2012

Menjadi Pendidikan Indonesia Tanpa Label



Menjadi Pendidikan Indonesia Tanpa Label
Dualisme itu kini terulang kembali
Oleh Citra Ashri Maulidina
            Pada abad 18 zaman “Verenigde oost Indische Compagnie” menjadi catatan awal sejarah bangsa oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketika itu didirikan sekolah pertama di timur Indonesia yang berada di Ambon tahun 1607. Tujuan didirikan sekolah adalah sebagai penyebaran agama protestan.
            Hingga seiring perkembangan waktu tahun 1900 dimulai dengan zaman politik etis pendidikan seakan memberikan batasan secara jelas antara anak Belanda dan anak Pribumi. Didirikanya Sekolah Kelas Satu, Kelas Dua, dan Sekolah Desa untuk anak Indonesia.  Europe Lagere School untuk anak Belanda.
            Sekolah kelas satu adalah sekolah untuk anak pribumi dari golongan kelas atas yang akan menjadi pegawai. Sedangkan sekolah kelas dua untuk anak pribumi pada umumnya dan sekolah desa adalah sekolah yang dibangun oleh masyarakat desa untuk kepentingan belajar mereka. Sebaik-baik sekolah zaman itu adalah Europese Lagere School yaitu sekolah bagi anak keturunna Belanda.
            Melihat kondisi pendidikan saat ini, setelah 67 tahun Indonesia merdeka. Aku kembali bertanya.
            Apakah bedanya pendidikan zaman colonial Belanda dan saat ini, ketika pendidikan bagi anak negeri masih terkotak-kotakan? RSBI, RSBN, dan sekolah tanpa label.
            Dimana peran pemerintah Indonesia, saya agak rancu apakah mereka mengetahui pendidikan zaman Belanda, dan jika mereka mengetahui mengapa justru pemerintah kita sendiri yang kembali mengulang sejarah?
            Jika anak-anak bangsa sudah dikotak-kotakkan berdasarkan kelompok kecerdasan ataupun kondisi ekonomi lewat sekolah, generasi muda Indonesia akan terbiasa berpikir bahwa ketidakadilan dan kesenjangan merupakan hal yang biasa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, Bapak Muhammad Nuh pernah berkata, "Selama ini, pemerintah melaksanakan RSBI karena melaksanakan UU (UU Sisdiknas), kecuali dibatalkan dengan putusan MK yang menilai UU itu bertentangan dengan UUD 1945,"  beliau juga menegaskan bahwa pihaknya telah memetakan kebutuhan pendidikan untuk mewujudkan kebijakan Master Plan Percepatan Pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).[1]
            Mungkin alasan klasik jika pemerintah berkata “ini adalah standarisasi undang-undang” pertanyaanya undang-undang yang manakah yang menjadi standarisasi?. Pajak yang masyarakat bayar dikembalikan ke masyarakat dengan cara yang berbeda. Setiap pergantian pemerintahan maka saat itu pula kebijakan berganti.
            Memang sungguh ironi, apa bedanya zaman penjajahan Belanda dahulu dengan saat ini. Pemerintah sendiri yang mengkotak-kotakan anak bangsanya untuk mengenyam pendidikan. Terkadang aku merasa sebenarnya apakah kita dijajah oleh pemerintah Negara kita sendiri?
            RSBI (Rintisan Sekolah Berstandard Internasional) Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional. Dalam praktiknya, pendidikan di RSBI justru  diarahkan untuk mengadopsi nilai dan pembelajaran di negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development atau negara maju lain yang menggunakan dasar dan falsafah individualistis dan kapitalistis, yang berbeda dengan dasar dan falsafah bangsa Indonesia.[2]
            Daftar jumlah sekolah RSBI di Indonesia mencapai 1800 yang terbagi dari semua Provinsi di Indonesia. Memang bisa dibilang RSBI merupakan sekolah yang paling baik yang pemerintah canangkan saat ini, betapa tidak selain mengacu kepada kurikulum luar, Bahasa Inggris sebagai standarisasi, fasilitas yang memadai, sarana dan prasarana yang lengkap, guru-guru dengan standard yang internasional pula.
Jika kita kembali ke masa penjajahan Belanda, Sekolah ini memang sama dengan Europese Lagere School, dimana menggunakan kurikulum asing, fasilitas yang sangat memadai, bahkan menggunakan bahasa pengantar asing. Untuk kaum Pribumi zaman itu hanya 1:100 yang dapat masuk ke sekolah ini.
Sekarang Apa bedanya RSBI dengan ELS? Bukanhkah sama saja, lantas pertanyaanya, apakah kita telah benar-benar merdeka ketika penghianatan pendidikan ini justru diprakarsai oleh pemerintah kita sendiri, bahkan Mendikbud pernah berkata hanya 20% anak miskin yang bisa masuk di RSBI. Pertanyaanya, apakah RSBI merupakan sekolah untuk orang kaya saja? Lantas bagaimana nasib sekolah yang lainya jika RSBI sbagai acuan standarisasi mutu pendidikan di Indonesia.
Ternyata tidak berhenti sampai di RSBI, adalagi standarisasi kedua, Sekolah Standard Naional, Sekolah Standar Nasional merupakan sekolah yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang berarti memenuhi tuntutan Standar Pelayananan Minimum sehingga diharapkan mampu memberikan layanan pendidikan yang standar dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi sesuai standar nasional yang ditetapkan.[3]
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari : Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan.[4]
Dibawah RSBI, sekolah ini merupakan sekolah standard Nasional yang memberikan layanan sesuai standard Nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Walaupun tidak mengacu pada kurikulum luar negeri, sekolah ini merupakan sekolah yang berstandard Indonesia. Untuk Fasilitas, saranan dan prasarana, juga tenaga pendidik memang masih tergolong baik.
Kembali ke Zaman Belanda, sekolah ini ibarat sekolah kelas Satu yang memiliki standard yang bermutu di bawah sekolah ELS meskipun tidak berorientasi kepada kurikulum barat.
Terakhir ada sekolah tanpa label, apakah sekolah tanpa label? Aku menyebutnya sekolah tanpa label karena sekolah ini tidak berpredikat RSBI maupun SSN akan tetapi hanya sekolah saja, Sekolah biasa ibaratnya. Dengan fasilitas yang, sarana dan prasarana yang biasa, bahkan ada yang kekurangan tenaga pendidik, untuk gedung sekolah masih ada yang nyaris roboh, bahkan satu kelas bisa dipakai untuk belajar menjadi tiga-empat kelas karena keterbatasan ruangan.
Kembali lagi ke zaman Belanda, Sekolah ini ibarat sekolah kelas dua yang ada pada zaman itu ketika hanya kaum pribumi biasa bahkan miskin yang bisa menempuh pendidikan di sekolah jenis ini.
Pertanyaannya apakah sekolah ini tidak berstandard nasional? Lantas untuk apa ada sekolah jika tidak berstandard nasional? Pakai helm saja pemerintah mewajibkan yang berstandard nasional, lantas bagaimana pemerintah memperhatikan pendidikan jika masih ada sekolah ini, bahkan jumlahnya banyak terutama wilayah pedalaman dan di daerah-daerah.
Aku mendambakan ketika setiap anak bangsa saat ini berhak mendapat pendidikan yang sama dan sejajar. Semua anak bangsa merupakan generasi penerus yang menjadi tanggung jawab Negara. Education For All yang pernah UNESCO deklarasikan seharusnya dapat menjadi pengingat bahwa setiap dari kita memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah. Tidak ada lagi istilah aku anak RSBI, aku anak RSBN, bahkan istilah aku anak sekolah biasa.
Aku kembali mempertanyakan, bagaimana nasib pendidikan anak negeri ketika pemerintahnya sendiri yang mengkotak-kotakan pendidikan. Bukankah seharusnya semua sekolah berstandard Indonesia?
Sekolah berstandard Indonesia? Ya, bagiku seharusnya semua sekolah bersatandard Indonesia, ketika semua anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengeyam pendidikan yang terbaik yang pemerintah berikan kepada warga negaranya, dengan pemerataan sekolah pada setiap wilayah di Indonesia, bahkan daerah terpencil pun. Selain itu sekolah yang kurikulumnya tidak perlu berstandard asing akan tetapi kita punya standard tersendiri dalam pendidikan di Indonesia, yaitu bagaimana Pendidikan menjadi yang utama dan membangun pendidikan dengan budaya Indonesia.
Pemerintah harus fokus membangun pendidikan yang merata dan bukan mengkotak-kotakanya, Jika pemerintah yang melebelkan sekolah, apa bedanya dengan politik pendidikan zaman Belanda. Semoga para petinggi pendidikan kembali membaca buku sejarah Pendidikan di Indonesia sehingga tidak terjadi lagi dualism pendidikan, juga semoga para petinggi sibuk untuk membangun pemerataan sekolah yang baik dan merata dari segi fasilitas, saran dan prasarana bahkan tenaga pendidik yang memadai.



[1] www.kompasiana.com
[2] http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/02/11022831/RSBI.Khianati.Sejarah.Bangsa
[3] http://smpn1-pamekasan.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=12&Itemid=2
[4] www.bsnp.com

0 komentar:

Posting Komentar