Menjadi
Pendidikan Indonesia Tanpa Label
Dualisme
itu kini terulang kembali
Oleh Citra Ashri Maulidina
Pada
abad 18 zaman “Verenigde oost Indische
Compagnie” menjadi catatan awal sejarah bangsa oleh pemerintah kolonial
Belanda. Ketika itu didirikan sekolah pertama di timur Indonesia yang berada di
Ambon tahun 1607. Tujuan didirikan sekolah adalah sebagai penyebaran agama
protestan.
Hingga
seiring perkembangan waktu tahun 1900 dimulai dengan zaman politik etis pendidikan
seakan memberikan batasan secara jelas antara anak Belanda dan anak Pribumi.
Didirikanya Sekolah Kelas Satu, Kelas Dua, dan Sekolah Desa untuk anak
Indonesia. Europe Lagere School untuk
anak Belanda.
Sekolah kelas satu adalah sekolah
untuk anak pribumi dari golongan kelas atas yang akan menjadi pegawai.
Sedangkan sekolah kelas dua untuk anak pribumi pada umumnya dan sekolah desa
adalah sekolah yang dibangun oleh masyarakat desa untuk kepentingan belajar
mereka. Sebaik-baik sekolah zaman itu adalah Europese Lagere School yaitu sekolah bagi anak keturunna Belanda.
Melihat kondisi pendidikan saat ini,
setelah 67 tahun Indonesia merdeka. Aku kembali bertanya.
Apakah
bedanya pendidikan zaman colonial Belanda dan saat ini, ketika pendidikan bagi
anak negeri masih terkotak-kotakan? RSBI, RSBN, dan sekolah tanpa label.
Dimana
peran pemerintah Indonesia, saya agak rancu apakah mereka mengetahui pendidikan
zaman Belanda, dan jika mereka mengetahui mengapa justru pemerintah kita
sendiri yang kembali mengulang sejarah?
Jika anak-anak bangsa sudah
dikotak-kotakkan berdasarkan kelompok kecerdasan ataupun kondisi ekonomi lewat
sekolah, generasi muda Indonesia akan terbiasa berpikir bahwa ketidakadilan dan
kesenjangan merupakan hal yang biasa.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan kita, Bapak Muhammad Nuh pernah berkata, "Selama ini, pemerintah melaksanakan
RSBI karena melaksanakan UU (UU Sisdiknas), kecuali dibatalkan dengan putusan
MK yang menilai UU itu bertentangan dengan UUD 1945," beliau juga menegaskan bahwa pihaknya telah
memetakan kebutuhan pendidikan untuk mewujudkan kebijakan Master Plan
Percepatan Pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).[1]
Mungkin alasan klasik jika
pemerintah berkata “ini adalah standarisasi undang-undang” pertanyaanya
undang-undang yang manakah yang menjadi standarisasi?. Pajak yang masyarakat
bayar dikembalikan ke masyarakat dengan cara yang berbeda. Setiap pergantian
pemerintahan maka saat itu pula kebijakan berganti.
Memang sungguh ironi, apa bedanya
zaman penjajahan Belanda dahulu dengan saat ini. Pemerintah sendiri yang
mengkotak-kotakan anak bangsanya untuk mengenyam pendidikan. Terkadang aku
merasa sebenarnya apakah kita dijajah oleh pemerintah Negara kita sendiri?
RSBI (Rintisan Sekolah Berstandard
Internasional) Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
praktiknya, pendidikan di RSBI justru diarahkan untuk mengadopsi nilai
dan pembelajaran di negara anggota Organisation for Economic Co-operation and
Development atau negara maju lain yang menggunakan dasar dan falsafah individualistis
dan kapitalistis, yang berbeda dengan dasar dan falsafah bangsa Indonesia.[2]
Daftar jumlah sekolah RSBI di
Indonesia mencapai 1800 yang terbagi dari semua Provinsi di Indonesia. Memang
bisa dibilang RSBI merupakan sekolah yang paling baik yang pemerintah canangkan
saat ini, betapa tidak selain mengacu kepada kurikulum luar, Bahasa Inggris
sebagai standarisasi, fasilitas yang memadai, sarana dan prasarana yang
lengkap, guru-guru dengan standard yang internasional pula.
Jika
kita kembali ke masa penjajahan Belanda, Sekolah ini memang sama dengan Europese Lagere School, dimana
menggunakan kurikulum asing, fasilitas yang sangat memadai, bahkan menggunakan
bahasa pengantar asing. Untuk kaum Pribumi zaman itu hanya 1:100 yang dapat
masuk ke sekolah ini.
Sekarang
Apa bedanya RSBI dengan ELS? Bukanhkah
sama saja, lantas pertanyaanya, apakah kita telah benar-benar merdeka ketika
penghianatan pendidikan ini justru diprakarsai oleh pemerintah kita sendiri,
bahkan Mendikbud pernah berkata hanya 20% anak miskin yang bisa masuk di RSBI.
Pertanyaanya, apakah RSBI merupakan sekolah untuk orang kaya saja? Lantas
bagaimana nasib sekolah yang lainya jika RSBI sbagai acuan standarisasi mutu
pendidikan di Indonesia.
Ternyata
tidak berhenti sampai di RSBI, adalagi standarisasi kedua, Sekolah Standard
Naional, Sekolah Standar Nasional merupakan sekolah yang telah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan yang berarti memenuhi tuntutan Standar Pelayananan Minimum
sehingga diharapkan mampu memberikan layanan pendidikan yang standar dan
menghasilkan lulusan dengan kompetensi sesuai standar nasional yang ditetapkan.[3]
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang
sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari : Standar Kompetensi
Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar
Pembiayaan Pendidikan, Standar Penilaian Pendidikan.[4]
Dibawah
RSBI, sekolah ini merupakan sekolah standard Nasional yang memberikan layanan
sesuai standard Nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Walaupun tidak
mengacu pada kurikulum luar negeri, sekolah ini merupakan sekolah yang
berstandard Indonesia. Untuk Fasilitas, saranan dan prasarana, juga tenaga
pendidik memang masih tergolong baik.
Kembali
ke Zaman Belanda, sekolah ini ibarat sekolah kelas Satu yang memiliki standard
yang bermutu di bawah sekolah ELS meskipun tidak berorientasi kepada kurikulum
barat.
Terakhir
ada sekolah tanpa label, apakah sekolah tanpa label? Aku menyebutnya sekolah
tanpa label karena sekolah ini tidak berpredikat RSBI maupun SSN akan tetapi
hanya sekolah saja, Sekolah biasa ibaratnya. Dengan fasilitas yang, sarana dan
prasarana yang biasa, bahkan ada yang kekurangan tenaga pendidik, untuk gedung
sekolah masih ada yang nyaris roboh, bahkan satu kelas bisa dipakai untuk
belajar menjadi tiga-empat kelas karena keterbatasan ruangan.
Kembali
lagi ke zaman Belanda, Sekolah ini ibarat sekolah kelas dua yang ada pada zaman
itu ketika hanya kaum pribumi biasa bahkan miskin yang bisa menempuh pendidikan
di sekolah jenis ini.
Pertanyaannya
apakah sekolah ini tidak berstandard nasional? Lantas untuk apa ada sekolah
jika tidak berstandard nasional? Pakai helm saja pemerintah mewajibkan yang
berstandard nasional, lantas bagaimana pemerintah memperhatikan pendidikan jika
masih ada sekolah ini, bahkan jumlahnya banyak terutama wilayah pedalaman dan
di daerah-daerah.
Aku
mendambakan ketika setiap anak bangsa saat ini berhak mendapat pendidikan yang
sama dan sejajar. Semua anak bangsa merupakan generasi penerus yang menjadi
tanggung jawab Negara. Education For All yang pernah UNESCO deklarasikan
seharusnya dapat menjadi pengingat bahwa setiap dari kita memiliki kesempatan
yang sama untuk bersekolah. Tidak ada lagi istilah aku anak RSBI, aku anak
RSBN, bahkan istilah aku anak sekolah biasa.
Aku
kembali mempertanyakan, bagaimana nasib pendidikan anak negeri ketika
pemerintahnya sendiri yang mengkotak-kotakan pendidikan. Bukankah seharusnya semua
sekolah berstandard Indonesia?
Sekolah
berstandard Indonesia? Ya, bagiku seharusnya semua sekolah bersatandard
Indonesia, ketika semua anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk
mengeyam pendidikan yang terbaik yang pemerintah berikan kepada warga
negaranya, dengan pemerataan sekolah pada setiap wilayah di Indonesia, bahkan
daerah terpencil pun. Selain itu sekolah yang kurikulumnya tidak perlu
berstandard asing akan tetapi kita punya standard tersendiri dalam pendidikan
di Indonesia, yaitu bagaimana Pendidikan menjadi yang utama dan membangun
pendidikan dengan budaya Indonesia.
Pemerintah
harus fokus membangun pendidikan yang merata dan bukan mengkotak-kotakanya,
Jika pemerintah yang melebelkan sekolah, apa bedanya dengan politik pendidikan
zaman Belanda. Semoga para petinggi pendidikan kembali membaca buku sejarah
Pendidikan di Indonesia sehingga tidak terjadi lagi dualism pendidikan, juga
semoga para petinggi sibuk untuk membangun pemerataan sekolah yang baik dan
merata dari segi fasilitas, saran dan prasarana bahkan tenaga pendidik yang
memadai.
0 komentar:
Posting Komentar