Sabtu, 17 Januari 2015

Andaikan


Andaikan taqwa itu semudah bibir yang mengucapkan

Andaikan taqwa hanya cukup dengan duduk berdiam tanpa kata

Aku yakin bahwa begitu mudah surga digapai

Semua orang berbicara dengan lisannya

Semua orang duduk terpangku tanpa melakukan apapun yang seharusnya

Tapi Taqwa bukan jalan yang mudah

Ketika iman menjadi pilihan maka Taqwalah jalanya

Dan dia jalan yang indah pada akhirnya

Dan manisnya berjuang akan datang ketika berlelah-lelah sepenuh hati dalam kebaikan

Maka aku akan tetap berjalan untuk tidak diam

Menatap hari

Bahwa Taqwa tidaklah semudah kata-kata

Sabtu, 10 Januari 2015

Koma


Kalau koma itu lanjutan kata demi kata

Kalau koma itu berhenti sejenak dan lanju membaca

Kalau koma itu terdiam sesaat dan kembali berlanjut

Lantas aku tidak ingin bertemu titik untuk berhenti.

Aku ingin tetap melajutkan tahap demi tahap

Kata demi kata

Kisah demi kisah

Sehingga saat titik itu sudah seharusnya menjadi penutup. Semoga dia hadir dan menjadi indah di akhir kalimat.

Segelas Strawberry


Ada bulir bulir asam yang menemani sisa dahaga malam ini

Bertanya kepada diri sendiri

Ketika haus sudah seharusnya minum

Bukan sekedar menulis status

Tetapi sejenak diam,menatap gelas

Teringat akan masih banyak anak-anak di belahan dunia lainya

Yang harus mengantri berjam2 untuk mendapatkan seteguk air

Sedangkan aku duduk dengan segelas stroberi kecil.

Kamis, 08 Januari 2015

Kalau sayapku satu?


Semua bilang malaikat punya sayap..

Bukankah hanya yang Maha dari segala Maha yang Mengetahui..

Baiklah kalau kita tidak dapat melihat yang terlihat

Karena manusia ada batas

Sekuat apapun, Sekaya apapun, Seberprestasi apapun dia..

Tapi dia punya titik lemah, dia tetap miskin, dia tetap payah..

Aku teringat "Dara" yang aku lihat di depan rumahku pagi ini..

Entah mengapa Allah belum mengizinkannya terbang tinggi untuk bermain dengan awan pagi ini..

Saat kusapa, ternyata dia sepi dalam keadaan setengah sayapnya terluka parah.

Oh Dara kau mengingatkanku

Bahwa jika kau ingin melihat indahnya langit, maka kau harus lengkap dengan kedua sayapmu yang elok

Begitupun surga,Dara

Maka takala aku ingin menggapainya

Mari terjemahkan

Sajak Malam.. Citra Ashri Maulidina

Selasa, 06 Januari 2015

Jejak Tulis

Bukankah semua orang di dunia ini menghabsikan hidupnya untuk menulis?

Alika menulis di status Facebook ketika dia bahagia bahwa Pangeran Pujaan hati melamarnya.

Idar mencurahkan isi hatinya di kicauan Twitter ketika Allah mengizinkannya menjadi juara Lomba.

Anisa menarikan jarinya di atas keyboard untuk memulai novel terbarunya.

atau ketika ibu menggerakan jari tangan untuk menuliskan pesan singkat dimana keberadaan anaknya ketika malam yang kunjung menjadi dingin.

Isak pun menuliskan status di Path kesayanganya.

Tidak lupa Iwan juga berbagi tautan foto lengkap dengan deskripsi di akun instagramnya.

Hasan juga tidak pernah berhenti bercerita tentang agresi Israel yang tidak pernah berhenti di Negaranya tercinta sedikit berbagi Hasan merindukan kicauan burung setiap pagi dengan menikmati teh dan roti sebelum berangkat ke Sekolah.


Itulah makna dari rutinitas menulis yang sehari-hari manusia tidak lepas darinya tanpa disadari sedikitpun, di belahan dunia manapun.

Maka tulisan terakhir adalah amal hidup kita hanya melakukan dan Allahlah yang akan mengembalikan catatan itu pada waktunya.

Semoga menjadi tulisan terbaik dari tulisan yang pernah kita ukir dimanapun.



Sepiring Kentang

Aku menatapnya 

Tepat di sebelahku

Entah mengapa aku tidak ingin bersama denganya malam ini

Ada sesuatu yang tidak biasa

Aku lebih memilih menghabiskan waktu pada secangkir Kopi dalam diam

Memaknai hikayat bahwa aku harus tetap menulis

Menyadari makna bahwa hidupku bukanlah angan kosong

Ketika seseorang berpangku tangan dan membayangkan nasib

Aku yakin setiap manusia bisa memangkukan tanganya

Memikirkan mimpinya

Mempunyai istri yang jelita layaknya Cinderella

Bersama dengan suami tampan dan kaya raya juga seperti aktor Korea

Atau berharap ada yang mengajak menjelajahi dunia biru tanpa mengeluarkan uang sepeserpun

Andai hanya dengan berangan-angan berpangku tangan dan duduk di halaman semua itu dapat terwujud

Sangat disayangkan bahwa hidup tidaklah semudah itu

Ada makna dibalik Kerja Keras

Ada harap di balik usaha

Dan ada doa kepada Tuhan yang menyelimuti hati melengkapi Ikhtiar

Hanya Allah yang Mengetahui Ketika usaha ini sepenuh hati

Bagai Sepiring Kentang yang Menemani malam yang dingin

Bahwa pilihan untuk memakanya atau mendiamkan hingga dingin dan berpindah

Begitupun hidup

Kita Terjemakhkan

Adakah?

Adakah yang lebih menyakitkan di dunia ini daripada patah hati?

Adakah yang lebih menakutkan di dunia ini selain sendiri?

Adakah yang lebih mengejamkan di dunia ini ketika manusia saling membunuh untuk membela diri?

Adakah yang lebih menyedihkan di dunia ini daripada perang yang tidak kunjung berhenti?

Aku rasa ada yang lebih menyeramkan dari itu semua.

Ketika hidup tanpa iman

Ketika aku tidak mempercayai apapun

Tentang jiwa yang akan kembali setelah mati

Satu hal yang menjadi sesuatu yang lebih horor di dunia ini

"Hidup tanpa Tuhan"

Lalu siapa yang mau aku percayai?

Lalu apa yang ingin aku yakini?

Hidup terombang ambing

Dengan rutinitas sehari-hari tanpa henti.

Makan, Tidur, Berbicara, Menulis seakan tanpa ada yang mengawasi

Dengan hati yang penuh dengan kekosongan.

Maka iman seharusnya menjadi otak

Amal menjadi jantung

Berbagi adalah darah

Menjadikan hidup satu kali

Tidak terlupa dan menyesal nanti.







Minggu, 04 Januari 2015

Tujuh Pelangi



Semakin Banyak Cinta yang Kau Berikan Maka Akan Semakin Banyak Cinta yang Kau dapatkan, Bahagianya jadi guru
Oleh Citra Ashri Maulidina

Bagiku tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini selain menjadi seorang guru. Karena semakin banyak cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada murid maka akan semakin banyak cinta yang bisa didapatkan. Menjadi guru itu indah dan menjadi guru itu ibadah. Tetapi terkadang menjadi guru adalah sebuah tantangan. Tantangan untuk menjadi sabar karena menghadapi berbagai anak dengan karakteristik yang berbeda. Termasuk anak dengan berkebutuhan khusus.

Aku bukanlah guru yang berpengalaman puluhan tahun, baru tiga tahun aku begitu menikmati dunia mengajar tetapi bagiku ini merupakan pengalaman awal yang tidak terlupakan. Sedikit berbagi kisah, kisah tentang keindahan pelangi yang ada di sekolah tempat seorang guru mengajar. Itulah Sekolah.
Setiap selasa dan kamis pagi  mata harus terbuka lebih awal karena hari itu adalah hari mengajar di sekolah inklusif di daerah condet. Sekolah inklusif merupakan sekolah dimana anak berkebutuhan khusus dan anak “reguler” pada umumnya belajar. Itu adalah penjelasan sebagaimana biasanya. Akan tetapi bagiku sekolah inklusif adalah sekolah bagi setiap anak yang memiliki kebutuhan khusus maupun hambatan untuk belajar dan yang tidak memilikinya. Karena pelebelan anak bukanlah hal yang indah.

Di sebuah ruangan berukuran 7 x 3 meter yang biasa dikenal “ruang sumber” inilah tempat anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk belajar. Ada banyak media, mainan, dan beragam media pembelajaran disana. Ada tujuh jumlah anak yang ditangani secara rutin dari tiga belas anak yang ada di sekolah. Sisanya sahabatku Sita yang mengajar di hari yang berbeda.

Mereka itulah pelangi bagiku. Pelangi adalah sebuah keindahan yang Tuhan ciptakan dikala hujan usai, berwarna-warni juga bersinar dengan cahaya yang halus. Begitupun mereka murid-muridku mereka adalah sebuah keindahan yang diciptakan Tuhan dikala masih begitu banyak diskriminasi yang terkadang mereka dapatkan tetapi begitu banyak potensi yang mereka miliki jika kita sebagai guru dapat mengembangkanya. Karena tidaklah Tuhan meciptakan dengan sia-sia.

Pelangi ingin aku berbagi, ada tujuh warna pelangi, begitupun tujuh murid yang selama ini belajar bersama. Tujuh warna, tujuh kisah, tujuh cinta. Mereka adalah sumber kekuatan, sumber cahaya, bahkan semangat. Tidak ada masa yang paling membahagiakan selain dipanggil “ibu guru”  Tidak ada masa yang paling indah selain bersama dengan pelangiku di sekolah.

Pelangi pertama dialah Ibnu, murid yang paling dekat denganku. Dia selalu ingin belajar di ruang sumber. Ibnu mengalami hambatan dalam belajar dikarenakan faktor lingkungan yang membentuknya bahkan motivasi Ibnu dalam belajar cenderung kurang. Duduk di kelas empat seharusnya sudah sampai tahap membaca pemahaman pada anak, akan tetapi Ibnu masih dalam proses membaca permulaan. Pernah suatu ketika Ibnu bertanya “Ibu, kita mau belajar apa bu?”. “Kita mau belajar baca Ibnu” Ibnu tersenyum, dan saat aku menuliskan sebuah kalimat dalam sebaris buku. Aku memintanya membaca, sesaat Ibnu mengerenyutkan dahinya seakan berfikir apa yang harus dibacanya. Terbata-bata dan perlahan-lahan kata per kata mulai dibacanya. Meskipun masih membutuhkan arahan, Ibnu melanjutkan membaca hingga akhir. Ibnu masih membutuhkan motivasi, karena kemampuan membaca dan menghitung Ibnu masih terbatas.

Harus aku yang paling ceria di depannya ketika belajar, karena ketika aku memberikan tepuk tangan atau sebuah senyuman dan mengajaknya “tos” raut wajahnya terlihat bahagia. Pernah suatu kali belajar di ruang sumber, ia menyanyikan lantunan shalawat dengan begitu merdu bahkan air mata menetes hingga ke pipiku, Sampai ibunda Ibnu berbagi kisah bahwa Ibnu suka mengikuti kegiatan marawis di pengajian rumah. Ternyata Ibnu ada bakat, itulah potensi Ibnu.

Pelangi keduaku dialah Zidan, teman sekelas Ibnu. Seorang siswa penyandang autis. Jangan harap ketika berbicara Zidan akan menatapmu dalam waktu yang lama. Karena kontak mata Zidan ketika berkomunikasi masih belum baik. Akan tetapi Zidan akan menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tepat.

Jika bertemu aku suka memeluknya karena tubuhnya yang besar. Tetapi ia tidak mengelak seperti anak autis pada umumnya yang tidak suka dengan sentuhan. Tempat mencari Zidan jika ia keluar kelas hanya satu, yaitu perpustakaan. Jika ia sudah merasa bosan dengan pelajaran di kelas ia akan lari ke perpustakaan dan akan membaca buku yang disukanya “Ensiklopedia” oleh karena itu tidak heran bahwa ia merupakan salah satu siswa yang pintar di kelasnya.

Pernah suatu ketika ia menjelaskan sesuatu kepadaku tanpa teks buku dengan fasih ia menjelaskan proses kereta berjalan itu karena Zidan ingin menjadi seorang masinis. “Ibu, kereta dikendarai oleh masinis, berada di paling depan, nyalakan saja tombolnya maka kereta akan berjalan, kereta akan membawa ibu ke tempat tujuan yang ingin ibu kunjungi. Kalau Zidan sudah besar Zidan mau jadi masinis bu, Zidan mau mengendarai kereta”. “Kalau Zidan jadi masinisnya ibu pasti penumpang pertama yang akan naik kereta yang Zidan kendarai” sahutku dengan senyum.

 Itulah Potensi Zidan, membaca. Tidak berhenti di situ Zidan membuatku haru karena kemampuan membaca puisinya, pernah suatu ketika dalam acara yang diadakan oleh sekolah, ia membacakan puisi di depan ibu kepala sekolah. Suasana menjadi haru, bahkan sampai ada beberapa ibu yang menitikan air mata. Dibalik hambatan ternyata ada banyak kelebihan yang Tuhan berikan.

Ketiga adalah Nia. Pelangi yang satu ini adalah bidadari kecil yang duduk di kelas satu. Ia adalah siswa penyangdang disabilitas intelektual atau yang biasa dikenal dengan tunagrahita. Kemampuan mengenal huruf dan angka yang merupakan sumber dalam belajar masih terbatas. Hanya beberapa abjad yang dikenal Nia itupun Nia masih suka menebak.


Suatu hari aku fokus untuk mengajarkan Nia mengenal abjad, Nia adalah siswa yang paling keras dalam menjawab meskipun salah Nia hanya membalas dengan senyuman. Tidak ada kamus menyerah dalam hidupnya meskipun salah ia akan selalu berkata “lagi kak”, “belajar apa lagi kak” “Nia mau menghitung kak”.

Begitupun dengan angka Masih terlintas ingatanku saat mengajar siang itu, sudah satu bulan belajar tetapi huruf A-E Nia masih suka menebak dalam menjawab. Ketika belajar angka, Nia dapat menghapal angka 1 sisanya Nia masih suka menebak, tetapi itulah uniknya Nia selalu mau belajar, Kalau menyerah bukan Nia namanya.

Sampai suatu hari aku tercengang dibuatnya, di sebuah acara pentas seni di sekolah Nia terpilih untuk mementaskan sebuah tarian.Dibimbing oleh Mama Audi ketika latihan, Nia begitu rajin sampai tidak pernah absen latihan. Saat tampil di pentas, Nia jadi perhatian penonton.  Begitu cantik dan gemulai ketika dia tampil diatas panggung . Itulah potensi Nia, menari.

Pelangi keempatku adalah Tien, dia duduk di kelas Lima. Ia mengalami keberisikoan dalam belajar dikarenakan faktor lingkungan yang membentuknya. Tetapi Tien sangat suka belajar di ruang sumber. Setiap hari Tien selalu datang ke ruang sumber dan bertanya “bu, hari ini belajar nggak bu?” padahal jadwal sudah terpampang dengan rapi di ruang sumber tetapi Tien selalu ingin belajar di dalamnya. Baginya ruang sumber adalah rumah kedua, karena setiap hari Tien selalu ingin belajar disana. Ada sisi dimana ia merasakan kebahagiaan ketika belajar. Siang itu di ruang sumber Tien berkata “Ibu,aku ada hadiah untuk ibu, tapi ibu harus merem ya. Biar surprise” sautnya.

Mata kututup dan aku mengadahkan kedua tangan untuk menerima hadiahnya. Saat kubuka mata ini di tanganku sudah ada sebuah permen. Kemudian Tien bilang “Permen itu manis dan terimakasih karena ibu membuat belajar jadi semanis permen” Aku makin haru dan memeluknya. Terimakasih Tien. Siang itu indah diantara matahari dibalik awan menyengatkan panasnya. Menjadi saksi bahwa kebahagiaan itu sederhana.

Kemampuan membaca Tien sudah sangat baik. Bahkan membaca pemahaman untuk anak seusianya pun sudah cukup bagus, sayangnya dalam matematika Tien masih mengalami hambatan untuk memahaminya dengan baik terutama konsep dasar matematika yaitu pengurangan dan penambahan. Bersama Nia aku kembali tercengang dibuatnya karena dalam acara pentas seni Tien menampilkan tarian terbaiknya. Itulah potensi Tien, menari.

Pelangi kelimaku adalah Agung, siswa yang duduk di kelas tiga ini adalah yang menggemaskan bagiku. Karena postur badanya yang paling besar di kelasnya. Di ruang sumber ia sering menjadi target sasaranku pipinya yang tembam menarik untuk dicubit gemas.

Agung mengalami hambatan dalam belajar. Jika menulis pasti ada satu huruf yang terlewat di tulisnya. Contoh saja kata “sepatu” Agung bisa saja menulisnya menjadi “septu” huruf a dalam kata itu menjadi hilang seketika. Tetapi kemampuan membaca dan matematika Agung sudah cukup baik. Ia sering bercerita tentang pengalaman liburanya, pengalamanya di rumah, bahkan di kelas.

Kalau Agung sudah bercerita aku pasti fokus mendengarkan, karena wajahnya yang begitu serius. Dan Agung pasti marah jika ceritanya tidak didengar, jadi apapun itu Agung sangat suka bercerita, sekalipun cerita yang baru ia alami tadi pagi.

Suatu pagi sebelum belajar ia berbagi cerita “Bu, bu Candra nakal bu, masa Candra manggil-manggil orangtua aku terus. Bu kan dosa ya bu kalau panggil-panggil nama orangtua. Allah gak sayang kan bu sama orang yang buat dosa. Nanti Allah marah sama Candra ya bu” Itu ceritanya ketika ia dijahili oleh sahabatnya, cukup aku berkata “berarti Agung harus selalu berbuat baik supaya disayang Allah”. Ia tersenyum lebar dan berkata “Ayo bu belajar” Itulah Agung. Semangatnya selalu sebesar badanya.

Arsyad, dia pelangi keenamku. Arsyad mengalami hambatan dalam membaca dan vokalisasi suaranya masih terbatas. Membaca adalah hal yang paling tidak disukainya. Jika ia bertanya akan belajar, saat aku menjawab “Membaca” maka ia akan menjawab ibu “ibu jangan bu, menghitung aja bu”.  Ketika ia berkata itu, maka aku akan memberikan soal menghitung terlebih dahulu, kemudian  aku memberikan soal membaca.

Ketika Arsyad berhadapan dengan soal membaca, wajah Arsyad seketika berubah dan tidak lagi ada senyum di wajahnya. Ia seakan membutuhkan segenap energi untuk membaca, bahkan terkadang sampai menggaruk kepalanya dan berkata dengan wajah masam, “bu, aku gak tau, susah bu”. Itulah ungkapan yang ia katakan.

Itu bukan tanda bahwa Aryad menyerah akan tetapi kemampuan membaca Arsyad memang berbeda dengan teman-teman seusianya sehingga ia membutuhkan stimulasi khusus dalam belajar. Tetapi Arsyad punya potensi yang luar biasa. Matematika adalah pelajaran yang disukainya sehingga tidak membutuhkan waktu lama ketika mengerjakan soal matematika. Itulah Arsyad dan potensinya yang luar biasa.

Pelangi terakhirku adalah Fawaz, ia duduk di kelas lima. Fawaz adalah siswa pindahan dari sekolah di Setia Budi. Fawaz mengalami hambatan autis, ia juga sering mengalami spastic 9 (kekakuan) sehingga terkadang ia suka menggerakan badannya sendiri.

Fawaz adalah juara, karena ia sudah sering mengikuti olimpiade matematika dan IPA setingkat SD. Luar biasa ditengah hambatanya. Meskipun kemampuan komunikasi Fawaz masih terbatas tetapi ia adalah juara dalam matematika dan IPA. Kemampuan Fawaz tidak bisa diremehkan. Itulah potensi Fawaz yang Tuhan titipkan padanya.

Itulah kisah tujuh pelangiku yang luar biasa. Setiap keterbatasan bukan berarti dunia seakan terbatas. Tidaklah Tuhan menciptakan sesuatu tanpa makna. Ada banyak makna dibalik semua pertanda yang Tuhan berikan. Ketika aku sadar mungkin menjadi mereka adalah hal yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum saat ini. Tetapi mereka tidak pernah menyerah. Pelangi selalu menampilkan sisi terbaiknya, meskipun ia selalu datang setelah hujan.


            Meskipun diskriminasi itu masih tetap ada, terkadang mereka hanya bisa mengadu padaku, tetapi mereka selalu tersenyum. Tuhan telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Meskipun ada kekurangan dimata manusia tetapi dimata Tuhan aku percaya bahwa kita semua sama. Tuhan tidak pernah memandang apakah kita “Normal” pada umumnya akan tetapi Tuhan memandang bagaimana kita patuh terhadapnya. Itulah mereka, 

Tujuh siswa yang selalu menjadi pelangi bagiku. Tidak ada yang membahagiakan selain bertemu dengan pelangi di sekolah. Semakin Banyak Cinta yang Kau Berikan Maka Akan Semakin Banyak Cinta yang Kau dapatkan, itulah guru.



Dipublikasikan dalam antologi buku Jika Aku Mereka #GagasMedia2014

Kami Beda dan Menjadi Satu



 Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama, tidak ada satupun manusia yang lahir dari rahim seorang laki-laki. Terlahir dan tumbuh serta hidup dengan kodrat. Hidup dalam nadi dan aliran darah. Dengan detak jantung. Maha Suci Tuhan diatas segala-galanya. Hanya satu yang membedakan kami, dia “Iman”.
Seorang wanita cantik beragama  Kristen protestan. Tingginya semampai, dengan rambut sepanjang bahu yang selalu tergerai, kulitnya yang putih, dan ciri khasnya yang selalu menggunakan kacamata berwarna merah. Dialah Amel, sahabat terbaiku. Menempuh pendidikan di jurusan dan Universitas yang sama yaitu Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Jakarta.
Kemanapun waktu kami selalu menghabiskannya berdua, bahkan selalu ada slogan “dimana ada aku disitulah adalah Amel” begitupun sebaliknya. Bagai dua elemen yang tidak terpisahkan dan saling melengkapi, Seperti malam yang ditemani bintang. Persahabatan kami sudah berlangsung cukup lama. Empat tahun mengukir kisah persahabatan yang indah.
            Suatu hari ketika suara adzan berkumandang “Cit, sholat dulu gih sebelum pulang” kemudian kami ke mesjid bersama. Bukan hanya kali itu, setiap saat kami bertemu dia selalu menemaniku untuk bersimpuh menghadap Allah. Berjalan menuju tempat wudhu bahkan hingga masuk ke dalam mesjid.
            Aku dan Amel memiliki mimpi yang sama,  suatu saat nanti. Berjalan di tanah Eropa melihat sisi keajaiban Tuhan di Benua peradaban sejarah untuk belajar dan terus belajar. Sehingga kami berusaha menggapainya dengan mengikuti leas bahasa Inggris. Di tempat, jam, dan kelas yang sama.
Aku sudah lupa, ya lupa. Bagaimana aku selalu menghabiskan waktu dengannya walaupun hanya sekedar makan dan jalan bersama, bahkan kami berdiskusi tentang agama. Seperti arti penting shalat dalam  islam atau bahkan bagaimana hukuman bagi kaum Kristen yang tidak pernah ke gereja. Bukan untuk saling mempengaruhi, akan tetapi untuk saling menghargai.
Satu hal yang tidak terlupa ketika menghadi tugas akhir, yaitu skripsi. Adalah hal yang tidak terlupa. Begitu banyak yang berkata “kalo udah skripsi pasti ntar urusanya masing-masing” Pada nyatanya, Tidak. Kami saling mendukung dan membantu. Berdiskusi bersama hingga larut tiba, di perpustakaan Universitas Negeri di daerah Depok yang menjadi saksi, bahwa kami saling berbagi. Sehingga berkat dukungan terbaiknya yang tidak lelah memberikan masukan dan semangat yang luar biasa hingga akhirnya aku dapat menjadi skripsi terbaik di jurusanku.
Amel adalah sosok wanita kristiani yang begitu toleransi. Berkumpul bersama dengan sahabat-sahabat lainya yang muslim, seakan kami melebur menjadi satu keutuhan sebagai manusia meskipun iman kami berbeda. Bahkan  ia dapat melafalkan “bismillah” dengan sederhana meskipun bukan surat Maryam seperti yang Maria lantunkan di buku ayat-ayat cinta.
Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Quran:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan  berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”( Mumtahanah: 8)
Ketika kami memilki aqidah masing-masing dan tidak saling menjatuhkan bahkan tidak memusuhi itu lebih baik. Ketika diluar sana ketika semua orang merindukan kedamaian tetapi perang tidak pernah berhenti. Banyak yang mengatasnamakan toleransi tetapi begitu sulit perizinan dalam membangun tempat ibadah. Seakan menjadi cambuk bahwa sebenarnya saling menghargai adalah dua kata yang sederhana tetapi tidak semua bisa menjalani arti kata ini dengan baik.
Berdampingan dan bermasyarakat dengan baik tanpa mencampur adukan aqidah masing-masing adalah satu hal yang positif dalam hidup bermasyarakat. Semoga persahabatan aku denganya akan tetap tumbuh hingga detak jantung ini berhenti. Salah satu hal terbahagia dalam hidupku adalah mengenal Amelia Cristin Sitomorang.

Tulisan yang Allah izinkan masuk ke dalam DIALOG100 #JAKATARUB Bandung 2013


           



Keluarga Kecil Baru

Langit biru yang tidak lagi terik, Matahari seakan tenggelam diantara pancaran gedung pencakar langit di Jakarta. Sore itu, Sabtu 20 Januari 2013, tidak pernah terlupa bagiku. Ketika handphone berdering menandakan ada email masuk, awalnya aku kira seperti rutinitas email yang biasa aku terima entah pemberitahuan media sosial ataupun promosi belaka. Ternyata tidak, siapa sangka aku mendapat email dari Good Reads Indonesia. Salah satu komunitas pecinta buku terbesar di Negara ini.

“Tidak ada proses seleksi dalam workshop yang akan diadakan ini, namun seluruh anggota Tim Siaran GRI 2013 diwajibkan untuk datang selama 4 kali pada hari Sabtu berturut-turut sebagai syarat bergabung ke dalam tim Siaran GRI 2013”
Regards,
Farah

Seminggu setelah aku mengirimkan biodata dan tulisan mengapa aku tertarik untuk bergabung bersama tim siaran Good Reads Indonesia. Akhirnya semua menjadi nyata. Siapa sangka seorang guru dari anak-anak di sekolah menjadi seorang penyiar.
Di dalam bayanganku adalah “ segalanya tidak terduga dan segalanya baru” 26 Januari 2013 merupakan awal pertemuan dengan  seluruh tim siaran tahun 2013. Ketika matahari masih malu menampakan sinarnya, saat itu aku bergegas pergi menuju Dewi Sartika, Studio RPK fm Jakarta.

Jantung selalu berdegup, tanda Tuhan masih memberi kita hidup. Tapi kali ini lebih cepat, sungguh sangat cepat, pertanyaan-pertanyaan mulai menghampiri diri. “aduh nanti gimana ya” “Aduh teman-temanya kaya apa ya” “aduh kira-kira bisa tidak ya” “aduh nanti diomelin gak ya kalo salah” emosi-emosi seakan mempertanyakan hal sekecil ini, entahlah pertanyaan itu dari mana, tetapi yang kutahu saat itu rasa bahagia dan haru melebur menjadi satu.

Menuju lantai tiga, kubuka pintu dan kemudian seorang wanita berjilbab hitam, mengeluarkan aura senyuman yang begitu hangat dan menyambut dengan sangat ramah. Seakan kami telah kenal cukup lama. “Selamat datang di RPK FM” Tuturnya. Dialah Kak Farah, salah satu koordinator  siaran Good Reads Indonesia.

Semua telah berkumpul, 13 orang calon penyiar yang akan diberikan pelatihan. Wajah bahagia tampak terlihat dari masing-masing peserta. Senyum seakan menjadi elemen yang tidak dipisahkan dari kami saat itu. Seorang tutor hebat, Kak Yancen Piris banyak mengajarkan kami. Dan rutinitas pelatihan ini terus berlanjut hingga pertemuan di minggu keempat.
Empat minggu telah berlalu, kini saatnya memulai dan mempraktikan apa yang sudah disampaikan. Kami dibagi menjadi empat tim, seakan melebur menjadi satu kesatuan. Aku, Ka Farah, dan Landung menjadi satu tim “Komunitas”  Mengudara, berbagi kisah, berbagi cerita, dan berbagi informasi.
Pagi itu, matahari perlahan memancarkan auranya, suasana studi masih sepi. Hanya ada mas Herman sebagai operator yang menemani kami mengudara. Ketika awal gugup itu pasti ada, takut itu pasti menghantui, kaki terasa dingin. Tetapi siapa sangka. Beruntung sekali punya keluarga seperti kak Farah yang mengajarkan banyak hal.
Ketakutan itu seakan mulai memudar. Sedikit-sedikit mulai berani bertanya kepada narasumber meskipun beberapa kali Ka Farah menyeletuk “Citra kamu dari tadi diem aja, ayo ada yang mau ditanyain gak” Saat itu aku sadar bahwa aku masih sangat malu dan minder Tapi bersyukur selalu diberi masukan dan motivasi yang cetar oleh keluarga kecilku.

Siaran komunitas berarti kau akan mengenal cerita dan pengalaman dari berbagai kehidupan terutama dunia literasi. “Papua Baca, IndoHogwards” seakan menjadi bukti bahwa kita hidup di dunia tidak sendiri, saling merajut cerita masing-masing dengan kebermanfaatan yang sama yaitu berguna untuk manusia lain.

Tiga bulan berlalu, tim siaran berganti personil. Kali ini aku bertemu dengan keluarga kecil baru, dialah mas Jimy dan Kak Ayu, dan Kak Lia. Kali ini tentang “Buku” . Siapa sangka, aku bisa bertemu dengan penulis buku yang dibahas secara langsung. Saat itu ada Abbas dan Wulan sebagai penulis buku nyanyian cinta. “menulis itu gak gampang tapi kalo ada kemauan pasti ada jalan” pesan itu seakan tidak pernah padam dari ingatanku.

Siapa sangka aku yang tadinya masih pemalu dan takut untuk berekspresi suara di udara, perlahan pengalaman mulai meminimalisir rasa itu. Aku mulai berani bercerita dan bertanya. Menyapa dunia.

Sampai pada akhirnya “ apapun profesimu kau tetap bisa menjadi penyiar, selama mau belajar dan tidak takut salah. Karena kalau takut salah belajar itu tidak pernah ada”

Sepuluh bulan penuh kisah dan cerita unik dari keluarga tim siaran GoodReads. Kalau sudah berkumpul kami seakan menjadi kakak-adik yang begitu ceria. Hanya senyum tanpa sedih yang selalu terpancar ketika bersama. Bahkan ada benih-benih cinta yang tubuh diantara kami.

Sepuluh bulan penuh cerita, apalagi kata selain terimakasih. Tuhan menakdirkan kami untuk bertemu dari berbagai latar belakang pekerjaan yang berbeda. Tetapi bagiku kami punya persamaan, sama-sama mau belajar. Tidak ada yang merasa paling hebat.

Seorang guru, seorang penikmat buku Paulo Freire, Kini penyiar. Apapun profesimu mengudara bukanlah hal yang mustahil selama mau belajar dan terus belajar. Sepuluh bulan penuh cinta, makna, dan ceria. 

Rumah Mimpi

Satu hal yang membuat manusia  tetap hidup. Dia mimpi. Aku percaya bahwa dia  bukan untuk ditunggu dalam diam sambil menikmati secangkir kopi di depan teras rumah. Tetapi dia ada untuk dijemput. Karena keberuntungan dan keberhasilan tidak akan menghampiri duhai kamu malas. 

Oleh Citra Ashri Maulidina


Siapa yang paling menepati Janjinya selain Allah, Rabb Yang Maha Indah diatas segala-galanya. Penjelajahanku dalam bingkai unik kehidupan membuat aku tertarik untuk menulis makna sebuah keajaiban dari segala usaha yang manusia lakukan. Karena sejatinya manusia tempatnya berusaha dan Allah adalah penggenggam kehidupan. Keyakinanku pada kebesaran Allah tidak pernah berhenti. Karena hanya Allah yang Maha Menepati janjiNya.

            Lebih dari 2 milyar manusia di dunia memiliki banyak mimpi dan segala pencapaian. Tetapi satu hal yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainya, diataranya adalah keyakinan pada mimpi dan usaha mencapainya. Aku selalu percaya bahwa usaha yang baik akan mendatangkan hasil yang baik. Tentunya atas izin Allah. Maha Suci Allah diatas segala-galanya.  

            Ada satu hari dimana saat itu aku duduk diam dan kemudian air mata ini jatuh dalam sebuah acara inagurasi ketika Allah mengizinkan menjadi lulusan dengan skripsi terbaik di salah satu kampus negeri di bilangan Jakarta. Hari dimana aku semakin percaya bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti Allah berikan kemudahan. Masih teringat bagaimana jatuh bangun dalam proses pengerjaan skripsi yang cukup menguras hati, fikiran, tenaga, bahkan cinta. Bagaimana akhir dari segala pengorbanan itu Allah izinkan menjadi indah.

Kemudian di kesempatan yang lain dua email masuk berdampingan ketika aku melihatnya “Selamat kamu berhasil menjadi 12 cerpen terbaik dan akan dibubukan” selanjutnya “selamat kamu berhasil menjadi 100 penulis yang berpartisipasi dalam hari toeransi sedunia”  Kembali teringat dua email sebelumnya yang menyatakan aku berhasil lolos dalam lomba di dunia tulis-menulis berskala nasional. Tentunya dalam proses belajar tidak selamanya selalu memenangkan loma, tetapi dengan segala hasil hati semakin percaya bahwa Janji Allah benar adanya.

Teringat satu pepatah Arab yang menjadi inspirasiku ketika di satu waktu  berkesempatan menonoton sebuah film “NEGERI LIMA MENARA” semakin meyakinkan langkah bahwa manusia berhak menggantungkan segala  mimpi dan harapan sisanya urusan Allah dalam hasil pencapaian.

Selain menulis, aku berusaha mengasah kemampuan berkomunikasi yang aku miliki. Karena tidaklah Allah menciptakan manusia dengan sia-sia. Mencoba berdiri di depan umum menjadi seorang Master Ceremony. Baik di jurusan sampai di tingkat Universitas tempat aku menuntut ilmu juga sampai pada fase tingkat Nasional. Di lain kesempatan Allah izinkan berdiri membawakan acara wisuda salah kampus swasta di Jakarta. Di titik akhir perjalanan ku sebelum menjadi seorang sarjana adalah saat Allah dengan segala kebesaranya mengizikan untuk menjadi penyiar radio di komunitas Good Reads Indonesia. Satu pengalaman yang tidak terlupakan.

            “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah ke pada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. ” (QS. Huud[11]: 123)

            Maka ku gantungkan segala harapan dan mimpiku dengan keyakinan sepenuhnya kepada Rabb yang Maha Segalanya. Allah menciptakan manusia dengan segala kemapuan yang dapat dikembangkan agar hidupnya lebih berwarna. Menulis dan seni berkomunikasi Allah yang Allah berikan tidak akan pernah aku sia-siakan dalam hidupku.

Hingga saat ini aku masih membangun mimpi yang tiada henti untuk destinasi berikutnya berdiri di benua biru pusat peradaban dunia, karya seni yang indah, dan pendidikan yang maju. Sebagai warga Negara yang ingin membangun tanah ini dengan keyakinan bahwa suatu hari Negara ini akan dihargai dimata dunia. Man Jadda Wa Jadda dengan segala harapan dan cita-cita karena ketika kamu berhenti saat itu mimpimu selesai yaitu ketika Allah memanggil. Karena sejatinya mimpi yang membuat manusia tetap hidup.


Maka kubangun hatiku untuk terus bermimpi dan dengan mimpi itu dimana aku tinggal dan mewujudkannya.Sebuah pengharapan dari rumah mimpi. Semoga Allah mengizinkan. 

Alika


Di tengah heningnya malam dibawah cahaya rembulan yang meneduhkan aku bersimpuh memandang ke langit dengan detakan jantung yang berdebar memuji Asma Mu.Duhai Allah terimakasih aku menjadi tenang
Oleh Citra AshriMaulidina

Diantara hembusan angin fajar pagi itu.Alika berjalan menyusuri dinginnya air pantai Cemara di bilangan Bantul, Jogjakarta. Berharap bahwa semakin dia berjalan jauh maka akan semakin menghilang dalam hidup. Pergi untuk tidak pernah kembali.“Kalau aku harus memilih arah, semoga ini arah yang baik untuk menyelesaikan segala yang telah aku mulai sampai pada akhirnya Tuhan memeluku dengan erat” Tutur hati kecilnya dengan diselimuti perasaan gelisah.


Matanya terpejam dan dia terus berjalan menyusuri deru ombak.Semakin kakinya melangkah jauh maka rasa takut itu semakin membuncah pada hati kecilnya.Alika membuka kedua matanya dan memandang ke atas langit. Pagi itu ia hanya berdua dengan alam. Sudah lima hari ia memutuskan untuk pergi dari rumahnya di bilangan Barat Jakarta. Tanpa kabar dan dengan alasan ingin menyendiri. Bahkan alat komunikasinya pun sengaja ia matikan agar tidak ada satupun keluarga atau kerabat yang menghubunginya. Kesengajaan yang bodoh dilakukan Alika hanya untuk mengakhirkan hidupnya atas satu nama. “Cinta”

Alika, Kalau saja mata hatinya dapat melihat kebenaran dan kebaikan dengan utuh.Air mata yang membasahi pipinya yang memerah seakan menjadi saksi ketidakkuasaan bahwa hati manusia sebenarnya ada satu titik menjadi lemah tanpa arah. Wanita yang kini usianya beranjak 21 tahun dengan tinggi yang semampai serta matanya yang segaris, ia lebih dikenal seperti artis cantik di serial drama Korea juga kulitnya yang putih bersih, aura kecantikanya selalu terpancar dari wajahnya yang bersinar. Alika tidak pernah sekalipun meninggalkan rumah dengan menanggalkan hijab yang selalu menutupi dadanya.

Tidak selamanya cinta pertama jatuh pada orang yang tepat. Dio, dia adalah salah satu alasan seorang Afika yang cukup berprestasi di kampusnya dengan mudah berubah setelah melewati proses tiga tahun perkenalan. Singkat cerita Alika dan Dio adalah sepasang sekasih yang mulai menjalin hubungan sejak semester awal bangku perkuliahan. Mereka bagai dua elemen yang tidak pernah terpisahkan, Dio tidak akan membiarkan wanita yang paling dicintainya pergi seorang diri.

Mereka berkomitmen untuk menikah. Bukan Dio namanya jika tidak mengumbar janji manis yang dapat melemahkan hati wanita jika mendengar atau membaca pesanya. Ada satu rutinitas pesan singkat yang selalu Dio utarakan sebelum matanya terpejam. “Bidadariku sayang, aku hanya selalu dan akan mencintaimu sampai nanti Tuhan izinkan kita menjadi halal, maka menikahimu adalah hal terindah bagiku” Alika pun akan tersenyum manis dengan dencah kagum seraya berdoa di dalam hati, “Aamiin ya Rabbalalamin”tuturnya. “Insyaallah Dio calon suamiku yang aku sangat berterimakasih Tuhan telah mengirimu untuku” balas Alika.Itu asalah satu dari untaian kata berbeda yang selalu Dio kirimkan setiap harinya tetapi tetap janji untuk menikahi Alika pun tidak pernah lupa Dio utarakan setiap harinya.

Ada kupu-kupu biru keemasan dengan elok terbang mengelilingi bunga yang bermekaran pada salah satu taman di bilangan pusat Jakarta. Alika memilih menghabiskan waktu libur akhir pekannya bersama alam. Tentu bukan Alika Maharani namanya jika pergi sendiri tanpa Dio yang disisinya. Siang itu Dio menggenggam tangan Alika cukup erat seraya berkata “Alika, bidadariku terimakasih karena bagiku kamu segalanya” seketika tangan kanannya mengeluarkan sekuntum bunga mawar putih dan berkata “Menikahlah denganku Alika”. Seharusnya kata menikah bukanlah sekedar kata-kata manis yang mudah diutarakan karena sejatinya cinta adalah sebuah tanggung jawab yang sungguh berat. Hati wanita mana yang tidak menjadi lemah jika seorang pria berlutut di depannya juga menggenngam tangannya erat seraya mengajak untuk mengikat janji suci.“Janji yang jika diutarakan sesungguhnya Arsy Allah bergetar karena ijab Qabul yang sungguh mulia.

Dengan penuh kemantapan Alika menjawab “jangan Tanya aku Dio sungguh aku mau” Keadaan yang semakin menjelang malam hari itu memaksa mereka untuk kembali pulang.Hari yang tidak terlupakan bagi Alika. Meskipun Dio sering mengucapkan kata-kata manis yang akan menikahinya kali ini baru kali pertama bagi Alika ketika Dio sungguh romantis di depan banyak orang yang berlalu lalang di taman.

Semakin hari kedekatan mereka tidak pernah memudar, Meskipun begitu Alika selalu menjaga apa yang seharusnya dijaga dari seorang wanita yaitu “kehormatan”. Dio pun juga berlaku sama meskipun terkadang ketika kedua mahluk Tuhan bersama tanpa ada orang ketiga kecuali setan yang menjadi temanya seakan menjadi godaan terberat.

Kedekatan mereka juga didukung oleh restu dari kedua orang tua, seharusnya kebahagiaan mereka menjadi lengkap dalam segala harapan yang dibangun.Sayangnya tidak selamanya harapan harus selalu menjadi nyata. Tidak selamanya kisah cinta harus berakhir indah seperti kisah Cinderela yang akhirnya bahagia bersama sang pangeran.

Pertemuan Alika dan Dio pada satu hari di bulan November tahun 2012 menjadi kenangan yang teramat pahit karena ternyata pernikahan yang diharapkan hanyalah angan. Alika sudah menyimpan nama Dio dengan baik di dalam hatinya tanpa ada satu lelaki pun yang berhasil merebut posisi Dio dihatinya. Sayangnya rasa kecewa semakin tidak terbendung ketika Alika harus menerima kenyataan bahwa Dio harus menikah minggu depan. Sungguh mendadak dan keputusan yang tidak bisa diterima untuknya.

“Maafkan aku Alika, aku hanya manusia lemah dan imanku sedang ada di titik terendah.Aku harus menikah dengan Anggi karena sebuah tanggung jawab” tutur Dio.Pembicaraan di Kafe malam itu sungguh bukan percakapan biasa selain kekecewaan yang harus ditelan pahit oleh Alika. Dio, pria yang paling dicintainya telah menghianatinya karena satu malam di titik terendahnya sehingga ia harus bertanggung jawab atas bayi yang dikandung di Rahim perempuan lain.

Mendengar itu semua Alika hanya diam ditemani rasa tidak percaya yang membuncah atas apa yang telah diucapkan Dio kepadanya. Padahal sesuai rencana seharusnya Desember bulan depan mereka akan menyewa gedung untuk resepsi pernikahnya di tahun 2013. Kepahitan yang harus dibayar Alika setelah kesetiaanya kepada Dio selama tiga tahun harus dibayar dengan kenyataan yang memuakan.
Sepulang dari pertemuannya dengan Dio malam itu.Matanya bengkak dan memerah karena menangis sepanjang jalan.Kakinya serasa tidak ingin lagi menapaki bumi dan tanganya kaku keram bagaikan sudah tidak bisa menyentuh apapun yang ada di sekelilingnya. Bahkan ia harus menerima telepon ayahnya dengan penuh gemetar.

Sampai dengan kebodohanya ia meninggalkan semua yang ada di Jakarta untuk pergi selama-lamanya ke satu titik yaitu “mati”. Jogja menjadi pilihanya untuk mengubur segala kenangan manis tentang Dio.

Pantai Camara siang itu, setelah ia memejamkan mata dan terus berjalan hatinya seakan tersayat dan menangis. Perlahan ia mundur dan mulai menyadari bahwa. Seharusnya ia malu dengan jilbab yang dikenakanya, seharusnya ia malu dengan identitasnya sebagai muslimah. Entah bisikan darimana di hati kecilnya ia merasa sungguh bodoh dan tidak percaya akan kebesaran Allah yang Maha Agung. Kakinya melangkah mundur melawan arus ombak sampai pada pinggir pantai kebodohannya mulai berhenti.Ia terdiam dan memikirkan hidupnya yang seharusnya tidak ia habiskan hanya karena laki-laki yang tidak dapat menahan hawa nafsunya sehingga menghamili wanita lain.

“Bukankah seharusnya aku malu”tuturnya dalam hati. Tidak kuasa di hamparan pantai dengan pasir putih yang indah ia bersujud menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Rabbnya dan tersadar. “ Ya Rabb apakah ini maksud Engkau memeluku ketika HambaMu yang lemah ini merasakan malu pada hati kecil”
Alika berjalan kembali ke tempat dimana ia menginap, dengan sekejap ia meraih telepon genggam miliknya dan menghubungi keluarganya yang ada di rumah. Ayahnya, sontak begitu bahagia menerima telefon dari putri sulungnya yang tidak kunjung ada kabarnya selama seminggu pergi.“Pulang nak, mari kita sama-sama ke makam ibumu” tutur ayahnya dari balik telefon.Alika tertunduk dan menjerit. Telepon dimatikanya dan tanpa berfikir panjang ia langsung memilih untuk pulang ke Jakarta dengan bis malam itu.

Pagi menjelang, Alika sudah sampai di stasiun Rawamangun di bilangan timur Jakarta. Selama di perjalan tidak ada hal lain yang ia lakukan selain menangis dan berdoa juga berharap bahwa apa yang diucapkan ayahnya adalah sebuah kebohongan.

Sesampainya di rumah ayahnya benarlah bahwa ayahnya menyambutnya dengan wajah masam seraya berkata “Ibumu mencarimu dengan sepeda motor tanpa sepengetahuan ayah karena kekhawatiranya atas dirimu Alika, kekhawatiranya harus terbayar dengan diriya yang tertabrak Mobil di Cipete, malam itu. Kepanikan ibu akan kamu sebagai anak perempuan satu-satunya harus membawanya pergi selama-lamanya” Alika bersimpuh di hadapan ayahnya seraya menangis dan berharap bahwa kebodohannya dapat dikembalikan waktu sehingga pergi tidak menjadi pilihanya karena Dio, sayangnya waktu berkata lain. Ibu Alika pergi menghadap Ilahi Rabbi untuk selamanya tanpa belum sempat ia bahagiakan.

Padahal seharusnya Alika fokus pada tugasnya di semester akhir sehingga ibunya dapat melihatnya memakai toga dengan penuh rasa bahagia.Harapan menjadi angan.Alika mencium tanah kuburan ibunya pada siang itu seraya meminta maaf tiada henti. Seharusnya juga bulan ramadhan ini menjadi bulan yang penuh berkah bagi setiap muslim yang mengimani Tuhanya. Kenyataan pahit harus diterima Alika dengan kehilangan ibu yang paling dicintainya, lagi-lagi karena seorang lelaki yang mengatasnamakan cinta yang rela mengecewakanya dengan nafsunya yang menggebu dengan kejadian sehari semalam bersama perempuan lain.

Sampai pada akhirnya ada seorang Dina seorang sahabatnya , lama ia tinggalkan Dina semenjak berhubungan dengan Dio akan tetapi kesolehan Dina membuatnya untuk tidak memutuskan tali silahturahmi kepada siapa pun termasuk Alika sahabatnya. Dina mengingatkanya “ Segala Amal tergantung pada akhirnya, Cukup Umar Bin Khatab Alika yang menjadi salah satu contoh bahwa manusia sekelam apapun bisa berbuah, manusia yang hamper membunuh Rasul Allah seketika masuk islam karena kelembutan Rasul dan begitu dihargai bahkan iblis pun takut kepadanya” Allah lah penggenggam hidayah dan pengalaman yang mengajarkan Alika untuk bangkit, bertepatan dengan hari di bulan Ramadhan pada waktu itu Alika seakan menemukan cahaya sebagai seorang muslim yang bangkit kembali. 

Islam telah mengembalikan Alika pada jalan yang sesungguhnya kedamaian dan ketenangan.Bahwa agama adalah nasihat untuk manusia maka agama adalah sebaik-baiknya pedoman hidup.Baginya kini Allah adalah segala penentu kehidupan manusia.Demi matahari dengan pancaran cahaya siangnya dan demi bulan dengan malam yang mengiringinya.Sungguh beruntung orang yang senantiasa menyucikan jiwa.

Ramadhan membawa Alika pada satu titik bersimpuh. Kembali bertanya pada   hati untuk  apa dirinya hidup. Tidak ada satu keajaiban yang luar biasa selain takala Allah telah memperlihatkan cahayaNya yang luar biasa dalam dekapandinginyamalam.

Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke satu titik, dimana baginya akan merasakan kedamaiandalamhati yang seakanmati. Dibawahheningnyamalamdalamdekapan angin sepoi sehingga keteduhan sungguh terasa.Beritikaf di masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar se Asia Tenggara menjadi pilihanya.Dibawah cahaya bulan juga lampu sorot berwarna biru yang terlihat dari sudut tengah masjid yang menjadi icon Indonesia ini. Sehinggasampai pada akhirnya terselip untaian kata yang terbesit di dalam hati gadis cantik bernama Alika Maharani


Tidak ada lagi kata untuk berucap karena ternyata cukup satu penutuntunku dialah Allah. Aku
menangis dan bersimpuh dalam ketenangan. Apakah Allah akan sepenuhnya memaafkan segala
dosa yang selalu aku perbuat. Aku malu duhai Tuhanku.
Bukankah yang baik adalah baik dan mutlak.
Kebaikan dan keburukan bukanlah sebuah hal yang relatif tetapi mutlaka adanya.
Yang telah Allah gariskan dalam firmannya
Yang telah Allah gariskan dalam wahyu kepada Nabi-Nya.
Bahkan aku terkadang menjadi diam, dalam fikir.
Bahwa beragama bukan hanya tentang meyakini.
Tetapi menjalani apa yang Tuhan gariskan dan apa yang Tuhan tetapkan.
Maha Suci Allah diatas segala-segalanya yang telah menetapkan apa yang ditetapkan.
Bukankah diantara hamparan malam, menjadi saksi bahwa bintang dan bulan datang diantara matahari yang meninggalkan bumi.
Bahwa Langit tidaklah bergerak dengan sendirinya, begitu indah.Begitu sederhana bukti kekuasaan yang Allah gariskan.Akan tetapi sungguh sedikit yang menyadari.
Hari berganti hari, apa kabar hati?
Bulan berganti bulan, apa kabar raga?
Tahun berganti tahun, apa kabar jiwa?
Di dalam kebaikan terselip makna bahwa itu indah
Di dalam keburukan terselip makna bahwa itu belum baik.
Duhai hati, tanya lagi.
untuk apa aku hidup.


Untaian kata yang terbesit dalam hati Alika sampai akhirnya air matanya terus mengalir membasahi pipinya yang cubby.Alika membayar semua penyesalanya dengan melakukan banyak kebaikan sampai pada akhirnya ia lulus dengan predikat skripsi terbaik di kampusnya juga beberapa buku yang terbit yang Allah izinkan. Sehingga pada akhirnya ia mengakui kebesaran Tuhanya bukan hanya dengan iman tetapi juga amal dan berbagi. Ramadhan mengembalikan Alika pada satu titik meskipun ia harus kehilangan ibunya tetapi menyadarkanya banyak tentang arti untuk apa ia hidup.
Bahwa siraman Rohani selama ramadhan menyadarkanya bahwa bagaimana seharusnya menjadi seorang muslimah.Bahwa bagaimana seharusnya hidup dalam aturan Allah di bumi Allah.Bahwa di setiap kesullitan pasti terselip kemudahan juga tidaklah Allah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNya.Keajaiban yang membawanya untuk tidak jadi mengakhiri hidup dan bangkit dari keterpurukan juga bertepatan dengan bulan keagungan Ramadhan menjadikan malam Alika selalu bersujud penuh harap. Sampai kebaikan yang selalu membawa kebaikan mengantarkanya bertemu dengan sesosok lelaki yang mengajaknya menuju hubungan yang dihalalkan Allah dengan proses taaruf dilanjutkan dengan khitbah dan menikah. Proses bangkit sungguh tidaklah mudah tetapi Alika menemukan jalan Allah kembali dan Allah memberikanya segala kebaikan bagi setiap hambaNya yang dikehendaki. Maha Besar Allah diatas segala-galanya.